HARI RAYA SIWARATRI
Hari Raya Siwaratri merupakan han raya berdasarkan
atas pranata masa yang dirayakan setiap setahun sekali. Tepatnya jatuh pada
Purwaning Tilem Kepitu. Untuk tahun mi Malam Siwaratni jatuh pada tanggal 16
Januari 2008. Han suci Siwaratri sangat identik dengan begadang semalam suntuk
serta cerita Lubdhaka yang dikarang oleh Empu Tanakung.
Difinisi Siwarat.ri menurut Ketut Sukartha dan kata “Siwaratri” berasal Siwa
dan Ratri. Siwa artinya Puncak dan Ratri artinya malam. Siwaratri berarti
puncak malam. Sedangkan difinisi menurut Tjok Rai Sudharta “Siwaratri artinya
malam Siwa. Siwa berasal dari bahasa sansekerta yang artinya baik hati, suka
memaafkan, memberi harapan dan membahagiakan. Dalam hal ini kata Siwa adalah
sebuah gelar terhadap menifestasi Ida Sang Hyang Widi Wasa yang diberi nama
gelar kehormatan “Dewa Siwa” yang berfungsi sebagai pemralina atau pelebur.
Ratri artinya malam. Malam disini maksudnya kegelapan. Jadi Siwaratri artinya
malam untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang.
Hari Siwaratri menyimpan makna serta simbul yang sangat mendalam sebagai bahan
renungan yang tak pernah habis untuk dikaji. Tidak cukup hanya dengan prosesi
ritualitas semata, melainkan harus dipahami makna-makna yang terkandung
didalamnya. Dengan adanya pemahaman yang benar serta dapat diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari, maka hari suci keagamaan akan sesuai dengan tujuan
perayaan hari raya tersebut. Kegiatan ritual Siwaratri mesti dilaksanakan sesuai
petunjuk sastra. Di samping itu juga tidak kalah pentingnva yakni
merealisasikan makna-makna simbolis yang terkandung didalamnya ke dalam
wujud/kehidupan sehari-hari.
Makna Brata Siwaratri dalam kehidupan sehari-hari
Pada waktu pelaksanaan Brata Siwaratri sebagai lambang yang bennilai sakral
bertujuan untuk melenyapkan sifat-sifat buruk. Menurut Tjok Rai Sudharta, brata
Siwaratri berasal dari bahasa Sansekerta. Kata “Brata” artinya janji, sumpah,
pandangan, kewajiban, laku utama, keteguhan hati. Brata Siwaratri dapat
disimpulkan sebagai laku utama/janji untuk berteguh hati melaksanakan ajaran
Siwaratri. Brata Siwaratri tidak berhenti sampai pelaksanaan Hari Raya
Siwaratri saja, melainkan perlu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tanpa adanya aplikasi/wujud dalam kehidupan sehari-hari maka hari raya itu akan
tanpa makna dan akan lewat begitu saja. Brata Siwaratri dilaksanakan selama 36
jam. Brata ini mulai dan pukul 06.00 panglong ping 1 sampai pukul 18.00
Tileming sasih Kepitu. Brata Siwaratri dengan melaksanakan upawasa, monobrata
dan jagra.
1. Jagra (berjaga/tidak tidur/melek/ waspada)
Brata Jagra ini paling mudah dilakukan, sebab semua orang mampu untuk tidur
semalam suntuk. Dalam cerita Lubdhaka jagra ini disimbolkan oleh Lubdhaka yang
tidak tidur di atas pohon bila semalam suntuk. Untuk mengusir kantuknya
Lubdhaka memetik daun “bila” sehingga dosanya terlebur. Jagra dalam pelaksanaan
Siwaratri dapat dilakukan dengan jalan tidak tidur semalam 36 jam.
Dalam kehidupan sehari-hari makna jagra ini dapat
diaplikasikan dengan cara selalu eling (waspada, ingat, berfikir, dll.)
terhadap sang diri. Dalam kehidupan ini kita tidak bisa lepas dan musuh-musuh,
baik itu yang berasal dari dalam diri (sad ripu, sapta timira dan Sad atatayi)
maupun dari luar diri. Untuk menghadapi musuh-musuh tersebut diperlukan
kewaspadaan yang relatif tinggi, sehingga kita bisa terlepas dari musuh-musuh
tersebut. Kewaspadaan yang tinggi tentunya diperoleh dengan menggunakan
pikiran.
Kedatangan Hari Suci Siwaratri mengajak kita untuk
merenung agar selalu tetap mawas diri dan menyadari diri kita yang sejati.
Sebagaimana tersurat didalam Wrehaspati Tatwa, bahwa nafsu dan keinginan tidak
pernah putus didalam diri kita. Kesadaran akan lenyap bila kita hanya tidur.
Orang yang selalu terbelenggu oleh tidur (turu) disebut dengan papa. Pengertian
papa sangat berbeda dengan pengertian dosa. Pengertian papa dalam hal ini
adalah keadaan yang selalu terbelenggu oleh raga atau indriya yang dinyatakan
sebagai turu (tidur). Tidur berarti juga malas. Orang yang malas bekerja akan
menimbulkan kekacauan pikiran sehingga lupa akan keberadaan dirinya sendiri.
Dengan demikian pikiran merupakan sumber segala yang dilakukan oleh seseorang.
Baik-buruk perbuatan manusia merupakan pencerminan dari pikiran. Bila baik dan
suci pikiran seseorang maka sudah barang tentu perbuatan dan segala penampilan
akan bersih dan baik. Berusaha berpikir untuk tidak menginginkan sesuatu yang
tidak halal, berfikir buruk serta percaya dengan hukum karma.
Dalam hidup ini semasih kita mampu, perlu diisi dengan
kerja yang sesuai dengan dharma. Mengenai kerja ini dinyatakan oleh
Bhagawadgita III sebagai berikut:
III.3
O, Arjuna, manusia tanpa noda; di dunia ini ada dua jalan hidup yang telah Aku
ajarkan dari jaman dahulu kala. Jalan ilmu pengetahuan bagi mereka yang
mempergunakan pikiran dan yang lain dengan jalan pekerjaan bagi mereka yang
aktif.
III. 4
Bukan dengan jalan tiada bekerja orang mencapai kebebasan dari perbuatan. Pun
juga tidak melepaskan diri orang akan mencapai kesempurnaan.
III. 5
Sebab siapa pun tidak akan dapat tinggal diam, meskipun sekejap mata, tanpa
melakukan pekerjaan. Tiap-tiap orang digerakkan oleh dorongan alamnya dengan
tidak berdaya apa-apa lagi.
III. 20
Hanya dengan penbuatan, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan.
Jadi kamu harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk memelihara
dunia.
Di samping untuk memelihara dunia yang kita pijak ini,
kerja juga dapat menghindari kehancuran duniĆ¢ baik secara spiritual maupun
material. Disamping itu juga, kerja dapat meningkatkan kedudukan sehingga
menjadi manusia yang lebih sempurna. Jika kita sudah bekerja maka dapat
mengurangi ketergantungan kita terhadap orang lain. Disamping itu, diharapkan untuk
tidak terikat dengan hasil pekerjaan yang kita lakukan. Hasil yang diperoleh
dari kerja diharapkan untuk sumbangkan kepada yang membutuhkan.
2. Upawasa (tidak makan dan minum)
Upawasa dapat diartikan sebagai pengendalian diri dalam hal makan dan minum.
Pada waktu Siwaratri puasa ini dilakukan dengan jalan tidak makan dan minum.
Dalam kehidupan sehari-hari dapat diaplikasikan dengan cara selalu makan
makanan yang bergizi yang dibutuhkan oleh jasmani maupun rohani. Disamping itu,
dalam hal untuk mendapatkan makanan yang kita makan hendaknya dicari dengan
usaha-usaha yang digariskan oleh dharma.
Melalui upawasa ini kita dituntut untuk selektif dalam
hal makan dan minum. Makanan yang kita makan disamping untuk kebutuhan tubuh,
juga nanti akan bersinergi membentuk dan merangsang pikiran, perkataan dan
perbuatan. Kualitas makan akan mempengaruhi intensitas Tri Guna (sattwam, rajas
dan tamas) pada manusia. Makanan yang kita makan hendaknya dimasak oleh orang
yang berhati baik yang memperhatikan kesucian dan gizi dari makanan tersebut.
Disamping itu juga, cara memasak makanan perlu memperhatikan tentang suci dan
cemar, bersih dan kotor serta cara penyajian makanan. Mengenai makanan
dinyatakan dalam Bhagawadgita sebagai berikut:
III.13
Orang yang makan apa yang tersisa dan yadnya, mereka itu terlepas dan segala
dosa. Akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makanan untuk
kepentingannya sendiri mereka itu adalah makan dosanya sendiri.
XVII. 7
Bahkan makanan yang disenangi oleh semua, adalah tiga macam juga. Demikian juga
yadnya-yadnya, tapa dan dana. Dengarkanlah perbedaan dari semua ini.
XVII. 8
Makanan-makanan yang meninggikan hidup, tenaga, kekuatan, kesehatan dan suka
cita, yang manis yang lunak, banyak mengandung zat-zat makanan dan rasa enak
adalah yang disukai oleh orang yang baik (sattwika).
XVII. 9
Makanan-makanan yang terlalu pahit, masam, asin, pedas, kering, keras dan angus
dan menimbulkan kesakitan, duka cita dan pen yakit disukai oleh orang yang
bernafsu (rajasika).
XVII. 10
Makanan yang basi, hambar, berbau, dingin, sisa kemarinnya dan kotor adalah
yang disukai oleh orang yang bodoh (tamasika).
Disamping makanan, minuman juga diatur oleh sastra
agama. Minuman yang dilarang orang agama yaitu minuman yang banyak mengandung
penyakit sehingga mempengaruhi pikiran. Minuman yang perlu dihindari yakni
minuman yang menyebabkan mabuk. Orang yang sering mabuk prilakunya akan dapat
merugikan diri sendiri maupun orang lain.
Setiap orang dengan anggota badannya akan berprilaku
dan berbuat. Jika dilandasi dengan ajaran agama sudah barang tentu perbuatan
yang dilakukan adalah perbuatan yang baik dan benar. Oleh karena itu, perbuatan
yang baik dan benar tersebut dinamakan Kayika Parisudha. Setiap orang selagi
masih hidup, selamanya akan berbuat dan melakukan sesuatu perbuatan (karma).
Karma ini akan menentukan kehidupan seseorang. Berkarma dalam kehidupan
sekarang ini berarti mempersiapkan diri untuk kehidupan yang akan datang. Orang
yang sadar/eling akan berusaha dalam kehidupannya untuk berbuat yang baik berdasarkan
darma. Hal ini disebabkan karena semua orang mengharapkan adanya kehidupan yang
lebih baik dan lebih menyenangkan dimasa-masa yang akan datang.
3. Monobrata (berdiam diri/tidak bicara)
Monobrata ini dapat diartikan berdiam diri atau tidak mengeluarkan kata-kata.
Brata ini relatif sulit untuk dilakukan. Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari
dari berata ini yakni berkata-kata atau berbicara yang dapat menyejukkan hati
orang lain. Perkataan sangat perlu diperhatikan dan diteliti sebelum
dikeluarkan. Karena perkataan merupakan alat yang terpenting bagi manusia, guna
menyampaikan isi hati dan maksud seseorang. Dari kata-kata kita memperoleh ilmu
pengetahuan, mendapat suatu hiburan, serta nasehat nasehat yang sangat berguna
baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Dalam Niti Sastra V. 3 disebutkan
sebagai berikut:
Wacika nimittanta manemu laksmi,
Wacika nimittanta manemu duhka,
Wacika nimittanta pati kapangguh,
Wacika nimittanta manemu lmitra,
Artinya :
Karena perkataan memperoleh bahagia,
Karena perkataan menemui kesusahan,
Karena perkataan menemukan kematian
Karena perkataan memperoleh sahabat.
Kata-kata yang baik, benar dan jujur serta diucapkan
dengan lemah lembut akan memberikan kenikmatan bagi pendengarnya. Dengan
perkataan seseorang akan memperoleh kebahagiaan, kesusahan, teman dan kematian.
Hal ini akan memberi arti yang sesungguhnya tentang kegunaan kata dan ucapan
sebagai sarana komunikasi antara manusia yang satu dengan yang lainnya.
Perkataan yang baik, sopan,
jujur dan benar itulah yang perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Menghindari kata-kata jahat menyakitkan, kotor (ujar ahala), keras, menghardik,
kasar (ujar apergas), memfitnah (ujar pisuna), bohong (ujar pisuna) dan
lain-lain yang perlu dihindari dalam pergaulan. Adanya 10 (sepuluh)
pengendalian diri yang dapat dilakukan dalam kehidupan yang disebut karmaphala.
Hal ini sesuai dengan apa yang tersurat dan tersirat dalam Sarasamuscaya 73
sebagai berikut:
Hana karmaphatha ngaranya, khrtaning indriya, sepuluh kwehnya, ulakena,
kramanya : prawerttiyaning manah sakareng, telu kwehnya, ulahaning wak pat
pwarttyaning kaya, telu pinda sepuluh, prawerttyaning kaya, wak, manah kengeta”
Artinya:
adalah karmapatha namanya, yaitu pengendalian hawa nafsu, sepuluh banyaknya
yang patut dilaksanakan gerak pikiran tiga (3) banyaknya, ucapan/perkataan
empat (4) jumlahnya, gerak tindakan/laksana tiga (3) banyaknya, Jadi sepuluh
(10) jumlahnya perbuatan yang timbul dan gerakan badan, perkataan, dan pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar