Minggu, 06 Januari 2013

BANTEN SAIBAN

Mebanten saiban itu mempunyai makna bahwa sebelum kita makan maka kita harus membuat yadnya atau persembahan terlebih dahulu. Kepada siapa? Kepada Panca Maha Bhuta yaitu semua unsur yang ada di bumi sebagai ciptaan Tuhan yang telah menciptakan dunia dengan segala isisnya. Banten saiban itu adalah sebuah bentuk upacara Bhuta Yadnya dengan tingkatan yang paling kecil yang dilaksanakan setiap hari. Mebanten saiban juga bermakna menetralisir kekuatan bhuta agar menjadi dewa sehingga makanan kita menjadi makanan yang diberkati. Banten saiban juga bermakna ucapan syukur dan terima kasih kepada Tuhan serta alam lingkungan atas anugerah makanan yang bisa kita makan.

Pelaksanaan rerainan atau hari raya ditentukan oleh system penanggalan kalender. Ada kalender yang berpatokan pada matahari atau Surya Premana ada juga yang berpatokan pada bulan atau Candra Premana. Di Bali sendiri penentuan reraian menggunakan kedua system tersebut disamping system yang lainya. Perayaan rerainan purnama merupakan sebuah akulturasi ajaran, dimana rerainan tilem disebut hari Siwa dan Purnama hari Budha. Ini merupakan bentuk akulturasi dan sinkronisme ajaran Siwa-Budha yang menjadi nafas agama Hindu di Bali. 

Dalam lontar siwa gama dijelaskan bahwa kelapa merupakan salah sata perwujudan dari kepada dewa siwa, karena hanya kelapa satu-satunya pohon yang mempunyai fungsi dari kesemua bagian tubuhnya, dari bungkak, slepan, busung, semuanya dapat berguna. Dengan kata lain Pohon Kelapa melambangkan semua unsur dewa siwa yang berguna bagi kehidupan. Karena di Bali menganut paham siwa maka penggunaan kelapa entah itu buah atau daunya selalu digunakan dalam upacara.

Saran pedanda, sebaiknya jangan membandingkan agama yang satu dengan agama yang lainya karena kalau pemahaman kita belum cukup mendalam maka aka nada kecenderungan untuk meniru, yang mana belum tentu yang di tiru tersebut lebih baik. Konsep pembuatan pura di bali adalah sebagai simbolis adanya kehidupan karena penyatuan Bapa Akasa dengan Ibu Pertiwi, dengan kata lain terhubungnya anatara langit dan bumi sehingga pura tersebut terbuka. Hanya pelinggih yang tertutup seperti gedong, meru dan sebagainya. Mengenai masalah keamanan pedanda kira ini adalah tanggung jawab kita bersama untuk menjaga tempat suci kita. Jangan samapi karena tidak ingin repot kita justru merubah konsep yang belum kita pahami namun sesungguhnya mengandung filosofi yang luhur. Sebaiknya jika mekemit di pura diadakan secara bergilir. Kecenderungan umat sekarang rasa bhakti dan ngayahnya semakin menipis, sehingga jangankan mekemit waktu hari biasa, mekemit waktu odalan malah banyak yang tidak mau. Ini kembali kepada kesadaran kita sebagai umat beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar